Kamis, 16 Oktober 2014

Abnormalitas II



ABNORMALITAS
Kecemasan berhubungan dengan sesuatu yang mengancam ataupun dirasa mengancam. Kecemasan terkadang tidak jelas objeknya, mengapa seseorang bisa menjadi cemas. Seseorang sering cemas terhadap sesuatu, dapat mengembangkan kepribadian yang “pencemas” (apapun akan disikapi dengan kecemasan) sehingga akan menimbulkan gangguan.
Kecemasan secara umum jika seseorang merasa khawatir karena menghadapi situasi yang tidak bisa memberikan jawaban yang jelas, tidak bisa mengharapkan suatu pertolongan, dan tidak ada harapan yang jelas akan mendapatkan hasil (Sumadinata, 2004).
1.      Definisi Kecemasan
Kecemasan sebagai keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan dan keadaan khawatir yang mengeluhkan sesuatu yang buruk akan segera terjadi (Nevid, dkk. 2003).
Kecemasan adalah suatu keadaan yang memotivasi individu untuk berbuat sesuatu. Fungsinya adalah untuk memperingatkan adanya ancaman bahaya, yakni sinyal dari ego yang akan terus meningkat jika tindakan-tindakan yang layak untuk mengatasi ancaman tidak diambil. Apabila tidak bisa mengendalikan kecemasan melalui cara-cara rasional dan cara-cara langsung, maka ego akan mengandalkan cara-cara yang tidak realistik, yakni tingkah laku yang berorientasi pada pertahanan ego atau defence mechanism (Freud & Corey, 2005).
Kecemasan adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan yang disertai dengan menigkatnya ketegangan fisiologis. Suatu dorongan yang menjadi perantara antara suatu situasi yang mengancam dan perilaku menghidar. Kecemasan dapat diukur dengan self report, dengan mengukur ketegangan fisiologis, dan dengan perilaku yang tampak (davison, dkk. 2006).
2.      Ciri-ciri Kecemasan
ð Fisik
Gelisah, gugup. Tangan dan angoota badan yang lain bergetar, banyak     berkeringat, mulut atau kerongkongn terasa kering, sulit bicara, sulit bernafas, jantung yang berdebar keras, pusing, merasa lemas, mati rasa, sering buang air kecil.
ð Kognitif
Khawatir tentang sesuatu, perasaan tegang, keyakinan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi tanpa alasan yang jelas, takut kehilangan kontrol, takut akan tidak mampu mengatasi masalah, dll.
ð Perilaku
Menghidar, lekat dan dependen, terguncang, sensitif, mudah marah (Nevid, 2003)

3.      Manifestasi Kecemasan
ð Kognitif (dalam pikiran individu)
ð Motorik ( dalam tingkah laku)
ð Somatik (dalam reaksi, baik fisik maupun biologis)
ð Afektif ( dalam emosi individu
4.      Jenis-jenis Kecemasan Menurut Sigmund Freud
         Kecemasan Realistik
         Kecemasan Moral
         Kecemasan Neurotik
ð Kecemasan Realistik. Secara normal, kecemasan realistik sering dialami dalam kehidupan sehari-hari. Sering juga kecemasan realistik disebut degan ketakutan. Sumber dari kecemasan realistik sangat jelas karena memang membahayakan secara fisik. Misalkan dalam kondisi perang, terancam dengan binatang buas, dll.
ð Kecemasan Moral. Kecemasan moral tidak dirasakan dari dunia luar atau dari fisik. Tetapi dari dunia sosial individu. Super ego yang sudah terintregasi dalam inidividu. Kecemasan moral ini diantara lain adalah misalkan rasa malu, rasa bersalah, atau rasa takut mendapat teguran maupun hukuman, dll. 
ð Kecemasan Neurotik. Kecamasan neurotik ini menimbulkan perasaan takut yang muncul akibat rangsangan-rangsangan dari id. Induvidu akan menjadi gugup, tidak mampu mengandalikan diri, perilaku, akal, bahkan pikiran. Kecemasan neurotik merurpakan sumber terbanyak yang membuat individu terganggu secara psikologis
B.     GANGGUAN KEPRIBADIAN (PERSONALITY DISORDERS)
1.                Ditentukan oleh kemampuan individu dalam menyesuaikan diri dengan peraturan masyarakat dan harapan-harapan masyarakat.
2.                Gangguan kepribadian BUKAN karena Stres, akan tetapi bermula dari perkembangan pola kepribadian yang tidak masak dan gangguan penyesuaian diri.
3.                Ciri-Ciri Klinis Gangguan Kepribadian
·         Hubungan pribadi yang retak → hubungan yang tidak baik dengan orang lain, selalu mengakhirinya dengan konflik, tidak bisa menjalin persahabatan
·         Berlangsung lama → mengganggu orang lain ; polanya tetap dan berjangka waktu lama
·         Ada dan sering berhubungan serta mempunyai dampak negatif manifest dalam perilaku (misalnya kecanduan, merusak dan kriminal
·         Ada pola-pola khusus seperti keras kepala, curiga, dan tertutup
·         Memberi kesan ingin periksa pada ahli akan tetapi tidak ingin sembuh
·         Merasa normal.
4.                Jenis-jenis Gangguan Kepribadian
DSM IV membagi Gangguan Kepribadian menjadi 3 kelompok yaitu :
a.              Kelompok A, terdiri dari :
·         Gangguan Kepribadian Paranoid
·         Gangguan Kepribadian Skizoid
·         Gangguan Kepribadian Skizotipa
Orang dengan gangguan ini seringkali tampak aneh dan eksentrik.
b.             Kelompok B, terdiri dari :
·         Gangguan Kepribadian Antisosial
·         Gangguan Kepribadian Ambang (Borderline)
·         Gangguan Kepribadian Histrionik
·         Gangguan Kepribadian Narsistik
Orang dengan gangguan ini sering tampak dramatik, emosional, dan tidak menentu.
c.              Kelompok C, terdiri dari :
·         Gangguan Kepribadian Menghindar (Avoidance)
·         Gangguan Kepribadian Dependen
·         Gangguan Kepribadian Obsesif-Kompulsif
·         Gangguan Kepribadian Yang Tidak Ditentukan
Orang dengan gangguan ini sering tampak cemas atau ketakutan.

d.             Gangguan Kepribadian Paranoid
Ciri-cirinya adalah individu mempunyai pribadi yang kaku, curiga, cemburu, iri, hipersensitif, mudah marah, cenderung menyalahkan orang lain, kesepian dalam persahabatan, dan rasa humornya rendah.
e.              Gangguan Kepribadian Skizoid
Ciri-cirinya adalah adanya “Social Withdrawl”, suka menyendiri, diam dan tak ramah, sulit mengekspresikan kemarahan.
f.               Gangguan Kepribadian Skizotipal
Ciri-cirinya individu kadang menunjukkan ciri seperti “Simple Skizofrenia”. Individu merasa dapat “tembus pandang”, komunikasi dan cara berpikir mengalami hambatan.
g.              Gangguan Kepribadian Menghindar (Avoidance)
·         selalu menghindari penolakan dan penghinaan orang lain, sehingga malas berhubungan dengan orang lain
·         merasa sendirian, rendah diri, dan distres, serta hubungan dengan orang lain negatif
·         kriteria diagnosis yaitu perpaduan dari 2 kategori yaitu Skizoid dan Dependen.

h.             Gangguan Kepribadian Dependen
·         Ada ketergantungan yang ekstrem, ada kegelisahan
·         Perilakunya normal jika tidak dituntut untuk melakukan sendirian (ingin selalu ditemani).
i.                Gangguan Kepribadian Obsesif-Kompulsif
·         Ada perhatian yang berlebihan terhadap aturan, perintah, dan efisiensi
·         Perilakunya hati-hati, patuh, dan kaku
·         Ada pikiran-pikiran yang selalu muncul dan diwujudkan dalam tindakan dan individu tidak dapat mengontrolnya.
j.               Gangguan Kepribadian Pasif-Agresif
Cirinya adalah mengekspresikan sikap permusuhan secara tidak langsung.
k.             Gangguan Kepribadian Histrionik
·         Ciri-ciri khususnya : tidak masak, kegembiraan yang berlebihan, emosi yang tidak stabil, harapan tinggi, penyesuaian seksual rendah, perasaan tidak mampu, dan pikiran dangkal
·         Keluhan fisik dalam rangka mencari perhatian dan jika gagal perasaannya sangat peka dan marah yang meledak-ledak. Contoh : anak PUNK, remaja yang memakai anting-anting di lidah.

l.                Gangguan Kepribadian Narsistik
·         Ada ketergantungan, rasa rendah diri, menghindari hubungan yang dalam, sulit mencintai, sering menekan orang lain
·         Gangguan ini lebih banyak dialami oleh laki-laki.

m.           Gangguan Kepribadian Ambang (Borderline)
Gejalanya meliputi gangguan afeksi, secara tiba-tiba keluar dari realita (Skizofrenia), mengalami delusi, ilusi, pikiran aneh, tingkah lakunya sering impulsif, pikiran kosong, bosan, mudah frustasi, serta merusak diri.
C.    GANGGUAN PENYALAHGUNAAN OBAT
1.      Penggolongan Gangguan yang Berkaitan dengan Zat
            DSM-IV menggolongkan gangguan ini dalam dua kategori :
a.      Gangguan Penggunaan Zat (substance use disorders)
Penggunaan maladaptif dari zat psikoaktif, tipe gangguan ini mencakup gangguan penyalahgunaan zat (substance abuse) dan gangguan ketergantungan zat (substance dependence).
b.      Gangguan Akibat Penggunaan Zat (subtance induced disorders)
Gangguan fisiologis ataupun psikologis yang muncul karena penggunaan zat psikoaktif, seperti intoksikasi, gejala putus zat, gangguan mood, delirium, demensia, amnesia, gangguan psikotik, gangguan kecemasan, disfungsi seksual, dan gangguan tidur.

2.      Penyalahgunaan dan Ketergantungan Zat/Obat.
a.      Penyalahgunaan (substance abuse)
Berdasarkan DSM seseorang dapat dikategorikan penyalahgunaan zat/obat jika melibatkan pola penggunaan berulang dan menghasilkan konsekuensi yang merusak atau menimbulkan masalah dalam hidupnya. Konsekuensi merusak bisa termasuk :
·         Kegagalan memenuhi kewajiban yang utama (misalnya sebagai siswa, orang tua, pekerja)
·         menggunakan obat-obatan pada dengan atau saat situasi berbahaya (seperti mencampur minuman dan penggunaan obat atau menyetir mobil sambil mabuk)
·         behadapan dengan hukum berulangkali karena penggunaan obat (contoh: penangkapan karena perilaku yang buruk)
·         memiliki masalah interpersonal/masalah sosial yang diakibatkan oleh penggunaan obat (contoh: pertengkaran rumah tangga, perkelahian).
b.      Ketergantungan zat (substance dependence)
Bentuk gangguan penggunaan yang lebih parah, terkait dengan ketergantungan fisiologis atau penggunaan zat secara Kompulsif. Ketergantungan zat didefinisikan sebagai pola penggunaan maladaptive yang menyebabkan kerusakan signifikan atau distress, sebagaimana ditunjukan oleh Karakteristik Diagnostik berikut ini :
1.      Toleransi pada zat (kebutuhan untuk meningkatkan dosis, berkurangnya efek secara drastis)
2.      Simtom-simtom putus zat
3.      Penggunaan dosis zat yang lebih besar atau untuk periode waktu yang lebih lama daripada yang diinginkan orang yang bersangkutan
4.      Keinginan yang terus ada untuk mengurangi atau mengendalikan penggunaan zat atau kurang berhasil saat mencoba melakukan self control.
5.      Menghabiskan banyak waktu untuk aktivitas memperoleh zat (misalnya mengunjungi dokter untuk mendapatkan resep atau terlibat dalam pencurian)
6.      Individu telah mengurangi atau menghindari aktivitas sosial, pekerjaan, atau rekreasional.
7.      Penggunaan zat tetap berlanjut meski terdapat bukti-bukti adanya masalah psikologis atau fisik yang diakibatkan obat tersebut.

3.      Jalan Menuju Ketergantungan Zat/obat
Orang yang mengalami ketergantungan zat, digambarkan melalui beberapa tahapan, yaitu:
a. Eksperimentasi
Pada tahap ini, orang yang menggunakan zat akan merasa nyaman, euforik,   dan yakin bahwa mereka dapat berhenti kapan saja.
b. Penggunaan rutin
Pada tahap ini, orang yang tergantung zat akan memfokuskan diri pada bagaimana mendapatkan, dan menggunakan obat. Pada tahap ini, mereka akan mengabaikan nilai diri, keluarga, sekolah, atau pekerjaan.
c. Adiksi atau ketergantungan
Pada tahap ini, orang akan merasa tidak berdaya menolak obat, baik karena mereka ingin mengalami efek obat atau karena ingin menghindari konsekuensi putus zat.

4.      Jenis Obat/zat yang Disalahgunakan
Ada tiga kelompok besar dari zat psikoaktif yang disalahgunakan, yaitu :
a. Depresan
    Obat yang menghambat atau mengekang aktivitas sistem saraf pusat. Obat ini mengurangi perasaan tegang dan cemas, menyebabkan gerakan melambat, dan merusak proses kognitif. Dalam dosis tinggi, obat dapat menahan fungsi vital dan menyebabkan kematian. Ada beberapa tipe depresan, yaitu : Alkohol, Barbiturat, Opioid/Narkotik.
b. Stimulan
   Obat yang meningkatkan aktivitas sistem saraf. Beberapa obat jenis ini menyebabkan perasaan euphoria dan percaya diri. Jenis dari stimulan adalah Amfetamin, Ekstasi, Kokain, Nikotin.
c. Halusinogen/psychedelics
    Golongan obat yang menghasilkan distorsi sensori atau halusinasi, termasuk perubahan besar dalam persepsi warna dan pendengaran.
ð Lysergic acid diethylamide/LSD, merupakan obat halusinogen sintetis. Orang yang menggunakan obat ini dapat merasa takut kehilangan kendali/kewarasan, takut akan kematian.
ð Phencyclidine/PCP, awalnya dikembangkan sebagai anastetik. PCP dapat menyebabkan halusinasi, mempercepat detak jantung, tekanan darah, keringat berlebih, menyebabkan kondisi delirium, memiliki dampak disosiatif, rasa kantuk, tatapan kosong, kejang, koma, paranoia, perilaku agresif, dan kecelakaan akibat distorsi persepsi.
ð Mariyuana, berasal dari tanaman Cannabis sativa. Dosis rendah dari obat ini dapat menyebabkan rasa santai. Dosis tinggi dari penggunaan obat ini dapat menyebabkan halusinasi visual, meningkatnya sensasi seksual, disorientasi, mual, muntah, kecemasan, kebingungan, kerusakan intelektual, merusak persepsi, koordinasi motorik, merusak ingatan jangka pendek, memperlambat kemampuan belajar.

5.      faktor faktor penyebab
1) Perspektif Biologis
    a. Neurotransmitter
        Obat-obatan seperti nikotin, alkohol, amfetamin, heroin, kokain, dan mariyuana     memiliki efek yang menyenangkan dengan meningkatkan konsentrasi dopamin dalam otak, yaitu jaringan neuron yang berpengaruh pada perasaan nikmat (perasaan nikmat jika kita menang lomba, menikmati makanan lezat, atau karena stimulasi seksual). Perasaan nikmat karena penggunaan obat dapat berupa kebahagiaan ringan hingga euforia. Meningkatnya konsentrasi dopamine menyebabkan berkurangnya jumlah reseptor pada neuron dimana dopamin berada dan mengurangi kemampuan otak untuk memproduksi dopamin sendiri.
    b. Genetis
        Penggunaan obat cenderung menurun pada keluarga. Orang yang memiliki orangtua alkoholisme, cenderung memetabolisme alkohol lebih cepat. Metabolisme yang lebih cepat dapat menyebabkan seseorang dapat menoleransi penggunaan alkohol.

2) Perspektif Belajar
    Teoretikus belajar meyakini bahwa penggunaan zat itu adalah perilaku yang dipelajari, dan pada prinsipnya dapat dihentikan atau dikembalikan ke bentuk semula.
                a. Operant Conditioning
        Orang belajar bahwa ketika mereka menggunakan obat atau zat, mereka   memperoleh reinforcement positif, berupa rasa nyaman, senang, nikmat, hilang kecemasan, atau ketegangan. Mereka juga belajar bahwa jika mereka berhenti menggunakan obat atau zat, mereka akan memperoleh reinforcement negatif, berupa rasa sakit atau nyeri. Oleh karena itu, perilaku penggunaan obat atau zat akan terus dilakukan.
    b. Classical Conditioning
        Isyarat yang berhubungan dengan obat, seperti melihat atau mencium aroma dari minuman beralkohol atau melihat jarum dan suntikan, dapat menjadi stimuli yang terkondisi dan membangkitkan respon terkondisi.
    c. Belajar Observasional
       Orang yang mengkonsumsi obat atau zat, biasanya belajar dari ayah, ibu, atau orang lain dalam lingkungan terdekatnya.
3) Perspektif Kognitif
    Adanya harapan atau keyakinan yang salah, yaitu bahwa zat dan obat dapat mengurangi ketegangan, membantu orang lepas dari masalah, mengurangi kecemasan, terlihat keren di mata orang lain, dan meningkatkan self efficacy.
4) Perspektif Psikodinamika.
    Teoretikus psikodinamika memandang bahwa minum alkohol, merokok, atau konsumsi obat lainnya merupakan usaha untuk mencapai kepuasan oral (fiksasi tahap oral dalam perkembangan psikoseksual).
5) Perspektif Sosiokultural
     Penggunaan zat atau obat di lingkungan teman sebaya dapat mempengaruhi perilaku diri sendiri.
6.    Pendekatan penanganan ketergantungan dan penyalahgunaan obat/zat
           1) Pendekatan Biologis
               • Detoksifikasi
     Dilakukan dalam rumah sakit. Dalam detoksifikasi, obat antikecemasan akan      diberikan untuk mengatasi efek dari putus zat. Detoksifikasi biasanya memerlukan waktu satu minggu. Detoksifikasi ini hanyalah langkah awal dari penanganan.
• Disulfiram
  Diberikan bersama dengan alkohol sebagai terapi. Perpaduan disulfiram dan alkohol dapat menyebabkan mual, sakit kepala, percepatan jantung, muntah, dan tekanan darah menurun drastis. Sehingga diharapkan dengan pemberian disulfiram, orang akan berhenti mengkonsumsi alkohol. Namun, obat ini memiliki dampak beracun pada orang dengan penyakit liver (penyakit yang sering terjadi pada pengguna alkohol).
• Terapi pengganti nikotin dilakukan dengan penggunaan pengganti nikotin dalam bentuk permen karet Nicorette dan obat antirokok tanpa dasar nikotin.
• Program pemantapan metadon
Metadon adalah opiate sintetis yang mengurangi ketagihan heroin dan membantu mencegah gejala tidak menyenangkan yang menyertai putus zat. Namun, metadon sangat adiktif, sehingga penggunaannya perlu diawasi secara ketat.
2) Pendekatan Psikodinamika
     Dilakukan dengan terapi yang dapat menemukan, mengidentifikasi dan menyelesaikan konflik yang mendasari.
3) Pendekatan Behavioral
    Memutuskan pola perilaku penyalahgunaan zat dan menguatkan perilaku yang lebih adaptif
• Strategi self control berfokus membantu orang mengembangkan keterampilan yang    dapat digunakan untuk mengubah perilaku. Dikenal memodifikasi “ABC” dari penyalah gunaan obat.
- Anteseden/stimulus –> menyingkirkan stimulus eksternal (obat, alkohol, rokok, menghindari lingkungan yang negatif) mengendalikan pemicu internal (dilakukan dengan relaksasi, mencari bantuan jika merasa depresi)
- Behavior –> mengendalikan keinginan untuk mengkonsumsi obat atau alcohol.
- Consequences –> memberikan konsekuensi negatif jika mengkonsumsi obat atau alkohol.
• Aversive conditioning, stimulus aversif / tidak menyenangkan diberikan bersamaan dengan konsumsi obat atau zat. Misal, alkohol dipasangkan dengan zat kimia yang menyebabkan mual atau muntah.
• Pelatihan keterampilan sosial, misalnya belajar bersikap asertif untuk menolak ajakan teman untuk mengkonsumsi obat atau zat.
• Pelatihan pencegahan kambuh merupakan teknik kognitif behavioral yang berfokus pada interpretasi seseorang akan kemungkinan kambuh. Misalnya berlatih mengenali situasi apa yang dapat membuat mereka kambuh dan bagaimana cara mengatasinya.
4) Pendekatan Lainnya
• Kelompok pendukung nonprofessional
yaitu suatu kelompok dimana anggotanya pernah mengalami hal yang sama. Mereka melakukan pertemuan, dengan tujuan untuk memberi kesempatan para anggotanya untuk mendiskusikan perasaan dan pengalaman mereka.
• Pendekatan residensial
adalah penanganan di rumah sakit atau pusat rehabilitasi. Penanganan ini dilakukan jika orang tidak tahan terhadap gejala putus zat, atau tidak dapat mengendalikan perilaku mereka yang destruktif.
DAFTAR PUSTAKA
Nevid, J.S., Rathus, S.A.,& Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal, Edisi Kelima Jilid 2 (Terjemahan). Jakarta: Erlangga
Maslim Rusdi,Dr. (2003). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Jakarta: Nuh Jaya
Kartono, Kartini. (2009) Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual, Cetakan ketujuh. Bandung: Mandar Maju
Eleanora, Novita. (2011). Bahaya Penyalahgunaan Narkoba serta Usaha Pencegahan dan Penanggulanganya [Jurnal]. Fakultas hukum Universitas MPU Tantular Jakarta
Chaplin, J.P.,(1997). Kamus Lengkap Psikologi, terjemahan Kartono, kartini, Jakarta: RajaGrafindo Persada




Tidak ada komentar:

Posting Komentar