SIKAP
A.
TEORI-TEORI PERUBAHAN SIKAP
1.
Teori Rosenberg
Teori Rosenberg dikenal dengan teori affective-cognitive consistency dalam
hal sikap, dan teori ini kadang-kadang juga disebut teori dua faktor. Teori ini
memusatkan perhatiannya pada hubungan komponen kognitif dan komponen afektif
yang mana hubungan antara keduanya belum di kupas oleh para ahli dan Rosenberg
ingin melihat hubungan ini.
Menurut Rosenberg, pengertian kognitif tentang sikap tidak hanya mencakup
tentang pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan objek sikap, melainkan
juga mencakup kepercayaan atau beliefs tentang hubungan antara
objek sikap itu dengan sistem nilai yang ada dalam diri individu.
Komponen afektif berhubungan dengan bagaimana perasaan yang timbul pada
seseorang yang menyertai sikapnya, dapat positif tetapi dapat juga negatif
terhadap objek sikap. Bila seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap
objek sikap, maka ini berarti adanya hubungan pula dengan nilai-nilai yang lain
yang berhubungan dengan objek sikap tersebut, demikian juga dengan sikap yang
negatif. Menurut Rosenberg komponen afektif akan selalu berhubungan dengan
komponen kognitif, dan hubungan tersebut dalam keadaan konsisten. Bila
seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap suatu objek, maka indeks
kognitifnya juga akan tinggi, demikian sebaliknya.
Hal yang penting dalam teori ini adalah kaitannya dengan pengubahan sikap.
Karena hubungan komponen afektif dengan komponen kognitif konsisten, maka bila
komponen afektifnya berubah, komponen kognitifnya juga akan berubah dan
sebaliknya. Pada umumnya dalam rangka pengubahan sikap, orang akan mengubah
dahulu komponen kognitifnya, hingga akhirnya komponen afektifnya akan berubah.
Dalam rangka pengubahan sikap Rosenberg mencoba mengubah komponen afektif
terlebih dahulu. Dengan berubahnya komponen afektif akan berubah pula sikapnya.
2.
Teori Festinger
Teori disonansi
kognitif (the cognitive disonance theory) dalam sikap dari
Festinger ini diluncurkan sekitar tahun 1957. Festinger meneropong tentang
sikap dikaitkan dengan perilaku yang nyata, yang merupakan persoalan yang
banyak mengundang perdebatan. Sikap mengandung tiga macam komponen, yaitu
komponen kognitif, afektif dan konatif. Dalam hal ini Festinger ingin
menyelidiki tentang hubungan sikap dengan perilaku.
Festinger dalam teorinya
mengemukakan bahwa sikap individu itu biasanya konsisten satu dengan yang lain,
dan dalam tindakannya juga konsisten satu dengan yang lain. Elemen kognitif mencakup pengetahuan, pandangan, kepercayaan
tentang lingkungan, seseorang atau tindakan. Pengertian disonansi adalah tidak
cocoknya antara dua atau tiga elemen-elemen kognitif. Bila suatu elemen
kognitif tidak cocok dengan elemen kognitif yang lain, hal ini akan menimbulkan
disonansi. Beberapa cara untuk mengurangi atau menghilangkan disonansi, yaitu:
a.
Merubah perilaku
b.
Mengubah lingkungan
c.
Menambah elemen baru
3.
Teori Sarnoff
Teori ini adalah teori
yang paling kurang memenuhi kriteria dibandingkan dengan teori-teori sikap yang
lain. Hal ini disebabkan oleh teori ini kurang spesifik dalam
prediksi-prediksinya. Bagaimana mekanisme hubungan motif, tension,
dan sikap tidak diterangkan dengan jelas. Selanjutnya, teori ini didasarkan
pada prapotensi dari motif untuk menentukan hubungan motif dan sikap. Tentu
saja usaha seperti ini tidak cukup kuat. Tingkah laku overt yang
menyertai sikap yang sama pada dua individu dapat terjadi dalam defense
mechanisme (mekanisme pertahanan). Hubungan yang tidak jelas ini pun
belum pernah di uji dalam eksperimen-eksperimen. Mungkin untuk meningkatkan
kejelasan dan keterujian dari teori ini diperlukan penjelasan alternatif dari
teori tentang hubungan sikap dan motif ini, yakni penjelasan teori yang tidak
mempostulatkan mekanisme pertahanan sebagai dasar dari pembentukan sikap.
4.
Teori-teori Sheriff dan Hovland dan Bem
Kedua teori ini di
dasarkan pada proporsi-proporsi dari dua aliran psikologi yang sudah cukup
teruji, yaitu aliran Sosiologi/Antropologi dan aliran Behaviorisme/Skinnerian.
Teori Sheriff dan
Hovland mencoba bergerak lebih jauh ke arah terapan dan mengajarkan beberapa
istilah dan hipotesis baru, namun terdapat sedikit kelemahan dalam konsistensi
internalnya karena ada beberapa proposisi yang menyangkut konstruk tentang
“garis lintang, penerimaan, penolakan, dan ketidak terlibatan” yang masih
memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Sedangkan teori Bem
lebih cenderung untuk tetap berada pada prinsip-prinsip Skinnerian yang klasik.
Teori ini memiliki peran yang cukup besar dalam mempengaruhi penganut-penganut
teori disonansi untuk mempertimbangkan kembali interpretasi mereka tentang
sikap. Teori Bem memiliki interpretasi yang sederhana tentang sikap (yaitu
tidak mengakui proses internal dalam pembentukan sikap), tetapi justru
penyederhanaan ini mampu memberi kriteria yang lebih jelas tentang masalah
sikap tersebut sehingga patut dipertimbangkan oleh kaum kognitif untuk
merumuskan kembali proposisi-proposisi pokok mereka.
5.
Teori Osgood dan Tannenbaum
Kekuatan teori ini
terletak pada kecermatan/ketepatannya dalam mengukur besaran (magnitude) perubahan
sikap dan kekuatan sikap. Walaupun demikian, masih juga terdapat sedikit
masalah pada konsistensi internal dari teori ini, yaitu pada konsep tentang
koreksi ketidakdapatan dipercaya (correction for incredulity) dan
asersi disosiatif (dissociative assertion) yang membutuhkan
pendefenisian yang lebih cermat.
6.
Teori Pembelajaran (Learning Theory)
Teori ini melihat
perubahan sikap sebagai suatu proses pembelajaran. Teori ini tertarik pada
ciri-ciri dan hubungan antara stimulus dan respon dalam suatu proses
komunikasi. Program Yale mengidentifikasi unsur-unsur dalam proses pembujukan
yang dapat memberi pengaruh terhadap perubahan sikap seseorang yang meliputi
penyampaian sebagai sumber informasi baru, komunikasi atau informasi yang
disampaikan, penerima dan situasi. Pembujukan telah menjadi topik pembahasan
yang paling banyak dibahas dalam berbagai literatur tentang perubahan sikap.
7.
Teori Fungsional (Functional
Theory)
Teori fungsional
beranggapan bahwa manusia mempertahankan sikap yang sesuai dengan
kepentingannya. Perubahan sikap terjadi dalam rangka mendukung suatu maksud
atau tujuan yang ingin dicapai. Menurut teori ini, sikap merupakan alat untuk mencapai
tujuan. Oleh karena itu, untuk merubah sikap seseorang, terlebih dahulu harus
dipelajari dan diketahui kepentingan atau tujuan yang ingin di capai
oleh seseorang.
8.
Teori Perkembangn Sosial (Social Judgement Theory)
Menurut teori ini,
proses perubahan sikap bergantung kepada keteguhan individu dalam berpegang
pada suatu nilai atau pandangan. Apabila individu berpegang pada pandangan yang
ekstrim dalam suatu hal, maka ruang gerak penerimaannya akan sempit. Oleh
karena itu, kemungkinan terjadinya perubahan sikap bagi individu bersangkutan
adalah kecil. Sebaliknya, individu yang tidak ekstrim berpegang pada suatu
pandangan, memiliki ruang gerak penerimaan yang luas. Semakin luas ruang gerak
penerimaan seseorang, semakin besar pula kemungkinan terjadi perubahan sikap
pada individu yang bersangkutan.
9.
Teori Konsistensi (Consistency
Theory)
Teori konsistensi
dikembangkan berdasarkan suatu asumsi umum, bahwa manusia akan berusaha untuk
mewujudkan keadaan yang serasi dalam dirinya. Jika terjadi keadaan yang tidak
serasi, misalnya terjadi pertentangan antara sikap dan tingkah laku, maka
manusia akan berusaha untuk menghilangkan realita tersebut dengan merubah salah
satu sikap atau tingkah laku.
10.
Teori Persepsi Diri
Teori ini berfokus pada
individu yang mengetahui akan sikapnya dengan mengambil kesimpulan dari
perilakunya sendiri dan persepsinya tentang situasi. Implikasinya adalah
perubahan perilaku yang dilakukan seseorang menimbulkan kesimpulan pada orang
tersebut bahwa sikapnya telah berubah. Misalnya, seseorang yang awalnya tidak
bisa memasak tapi ia memasak setiap ada kesempatan dan ia baru sadar kalau
dirinya suka/ hobi memasak.
11.
Teori Presentasi Diri
Menurut teori ini, orang
memiliki sutau kebutuhan untuk mengabsahkan aspek-aspek penting dari konsep
dirinya, terutama jika konsep dirinya terancam. Teori ini secara aktif
mengelola self – image atau kesan yang mereka berikan kepada
orang lain.
12.
Teori Ekspektasi Nilai
Teori ekspektasi nilai
melihat pada keseimbangan insentif dan memprediksikan bahwa dalam situasi di
mana ada tujuan yang saling bertentangan, orang akan memilih posisi yang
memaksimalkan keuntungan buat mereka. Teori ini mengasumsikan bahwa orang
adalah pembuat keputusan yang penuh perhitungan, aktif, dan rasional.
B. PENGUKURAN SIKAP
Mengukur
suatu sikap bukanlah suatu pekejaan yang mudah. Seperti yang telah dipaparkan,
salah satu kesulitan dalam mempelajari psikologi adalah karena objek yang
dipelajari itu tidak menampak, tidak dapat langsung dilihat, tidak dapat
langsung dipegang, yang dapat diamati adalah manifestasi dari kehidupan psikis,
hal yang demikian dihadapi pula dalam sikap.
Orang
dapat mengukur sesuatu dengan alat ukur yang telah ditetapkan standarnya, jadi
telah adanya standar atau patokan tertentu mengenai alat ukur tersebut. Misal
pengukuran panjang sesuatu benda dengan menggunakan alat meteran. Kalau
seseorang mengukur sebuah benda – misal
– meja hasilnya satu meter, maka orang lain bila mengukur meja tersebut
dengan meteran, hasilnya juga satu meter.
Dari
contoh tersebut, dapat dikemukakan bahwa dalam mengukur sesuatu, orang dapat
mengukur dengan alat ukur yang belum distandarisasi, tetapi juga dapat mengukur
dengan alat yang telah distandarisasi. Pengukuran dengan alat ukur yang belum
ditsandarisasi hasilnya akan mengalami variasi, hasil pengukuran seseorang
mungkin akan berbeda dengan hasil pengukuran orang lain. Tetapi sebaliknya bila
orang menggunakan alat ukur yang telah distandarisasi, hasil pengukuran yang
dicapai akan sama. Karena itu dalam pengukuran sesuatu, agar menunjukkan hasil
yang baik, perlu digunakan alat ukur yang telah distandarisasi. Demikian pula
dalam hal mengukur sikap, untuk mendapatkan hasil yang baik perlu digunakan
alat yang telah dibakukan atau telah distandarisasi.
1.
Variasi hasil pengukuran
Variasi hasil pengukuran tidak hanya
ditimbulkan karena alat ukur yang digunakan, tetapi juga dapat bersumber pada
faktor-faktor lain, yaitu:
a.
Keadaan objek yang diukur
Merupakan hal yang ideal bila hasil
pengukuran yang diperoleh itu benar-benar mencerminkan keadaan yang sesungguhnya
dari objek yang diukur. Dalam ilmu sosial – demikan pula dalam ilmu psikologi –
dapat dikatakan bahwa belum terdapat alat ukur yang dapat dengan sempurna
mengungkap atau mengukur secara murni hanya kepada apa yang ingin diukur
semata-mata, sedangkan faktor lain tidak turut terungkap dengannya. Karena itu
koefisian validitas alat-alat ukur gejala-gejala sosial (termasuk di dalamnya
psikologi), hampir tidak ada yang mencapai r setinggi +1,000. Dengan validitas
sebesar +1,000 ini berarti alat ukur telah mengukur faktor atau faktor-faktor
yang akan diukur semata-mata (Hadi, 1971).
b.
Situasi pengukuran
Pengukuran sesuatu dalam situasi yang
berbeda, juga dapat menimbulkan hasil pengukuran yang berbeda. Mengukur
sebatang tembaga dengan temperatur yang berbeda, akan diperoleh hasil
pengukuran yang berbeda, sekalipun benda dan alat ukurnya sama. Demikian pula
mengukur sikap seseorang dalam situasi yang berbeda, dapat menghasilkan hasil
pengukuran yang berbeda pula.
c.
Alat ukur yang digunakan
Variasi hasil pengukuran dapat
disebabkan karena alat ukur yang digunakan. Misal bila alat ukur dibuat dari
bahan yang berbeda, kemungkinan hasil pengukuran juga akan berbeda.
d.
Penyelenggaraan pengukuran
Cara penyelenggaraan pengukuran juga
dapat menghasilkan hasil pengukuran berbeda. Demikian juga bila seorang
pengukur kurang menguasai alat ukur yang digunakan, maka hal ini akan dapat
menimbulkan hasil pengukuran yang berbeda-beda, karena kemungkina cara
penyelenggaraannya berbeda-beda.
e.
Pembacaan dan atau penilaian hasil pengukuran
“Seorang pengukur yang sedang ngantuk
mungkin mengalami salah baca. Seorang tester yang sudah terlalu lelah mungkin
melakukan salah periksa. Seorang coder hasil-hasil angket mungkin salah letak
dalam memberikan kode-kode. Semua keadaan itu akan menaikkan atau menurunkan
hasil-hasil pengukuran dari keadaan yang sesungguhnya” (Hadi, 1971: 106).
Bila seorang pengukur telah mengantuk
atau telah lelah, karena bekerja melampaui kemampuannya, maka hal ini akan
dapat pula merupakan sumber dalam variasi hasil pengukuran.
2.
Alat ukur yang baik
Dalam soal pengukuran salah satu
persoalan yang sering timbul ialah bagaimana alat ukurnya itu baik atau tidak.
Kalau alat ukurnya tidak baik, dengan sendirinya hasil pengukurannya juga
kurang baik, tidak sesuai dengan keadaan yang senyatanya.
Alat ukur itu disebut baik, bila alat
ukur itu valid dan reliabel. Karena itu hal tersebut perlu mendapatkan
perhatian untuk memperoleh alat ukur yang baik. Dalam hal validitas alat ukur
mencakup kejituan dan ketelitian alat ukur yang bersangkutan. Alat ukur yang
jitu itu, yaitu bila alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang akan di ukur,
jadi alat ukur itu tidak mengukur hal-hal yang lain.
Suatu alat yang baik itu harus reliabel
atau andal, artinya alat itu harus dapat memberikan hasil pengukuran yang tetap
atau stabil. Bila suatu benda pada suatu waktu diukur menunjukkan panjang 2
meter misalnya, maka pada waktu lain bila benda itu diukur dengan alat ukur itu
kembali, hasilnya juga menunjukkan 2 meter. Tetapi karena dalam psikologi yang
menjadi subjek adalah makhluk hidup, yang selalu mengalami perubahan dari waktu
ke waktu, maka akan sulit untuk memperoleh hasil pengukuran yang tepat sama
seratus persen. Karena itu dalam hal ini ada batas-batas tertentu di mana hasil
itu dapat dianggap relatif sama (hal ini dibicarakan atau ditunjukkan dalam
pengolahan statistik).
3.
Cara pengukuran sikap
Dalam pengukuran sikap ada beberapa
macam cara, yang pada garis besarnya dapat dibedakan secara langsung dan secara
tidak langsung. Secara langsung, yaitu subjek secara langsung dimintai pendapat
bagaimana sikapnya terhadap sesuatu masalah atau hal yang dihadapkan kepadanya.
Dalam hal ini dapat dibedakan langsung yang tidak berstuktur dan langsung yang
berstruktur. Secara langsung yang tidak berstruktur misalnya mengukur sikap
dengan wawancara bebas (free interview),
dengan pengamatan langsung atau dengan survei (misal public opinion survey). Sedangkan cara langsung yang bersturktur,
yaitu pengukuran sikap dengan menggunakan pertanyaan-pertanyyan yang telah
disusun sedemikan rupa dalam suatu alat yang telah ditentukan, dan langsung
diberikan kepada subjek yang diteliti. Misal pengukuran sikap dengan skala
Bogardus, Thurstone, dan Likert.
Sedangkan sikap dengan secara tidak
langsung ialah pengukruan sikap dengan mengguanakan tes. Dalam hal ini dapat
dibedakan antara tes yang proyektif dan yang non-proyektif.
4.
Pengukuran sikap secara langsung tak bersturktur
Sebuah contoh penelitian yang
dikemukakan oleh Buchanan dan Cantril dengan tema “How nations see each other” dengan public opinion surveys, sikap terhadap masalah hidup secara damai,
salah satu butirnya berbunyi “Do you
belief that it will be possible for all countries to live together at peach
with each other”. Penelitain ini dilaksanakn di sembilan negara pada tahun
1948, dengan besarnya sampel masing-masing negara berkisar antara 945-1195, dan
hasilnya menunjukkan sebagai berikut.
Possible Not
Possible Don’t Know
% % %
Australia 42 54 4
Britain 47 44 9
France 47 41 12
West Germany 58
35 10
Italy 30 59 11
Mexico 18 74 8
Netherlands 46
49 5
Norway 43 52 5
United States 49 45 6
(Sherif dan Sherif, 1957:513)
Dari contoh di atas dapat dikemukakan
bahwa terhadap masalah yang sama, terdapat perbedaan sikap yang diambil untuk
menanggapi masalah tersebut. Masing-masing bangsa atau golongan mempunyai
pandangan atau sikap yang berbeda-beda.
5.
Pengukuran sikap secara langsung yang berstruktur

Pengukuran sikap model Borgadus lebih
dikenal dengan pengukuran sikap dengan skala Borgadus. Borgadus dalam mengukur
sikap menggunakan suatu skala. Apa yang dikemukakan oleh Borgadus berdasarkan
apa yang dikemukakan oleh Park, yang menurutnya bahwa dalam suatu kelompok ada
intensitas hubungan yang berbeda satu dengan yang lain di antara para
anggotanya, demikan pula adanya perbedaan intensitas hubungan antara kelompok
dengan kelompok yang lain. Pengukuran sikap model Borgadus adalah menyangkut
jarak sosial, yaitu jarak sosial dari satu golongan atau kelompok terhadap
golongan atau kelompok lain.
Borgadus berpendapat bahwa ada tingkatan
intensitas hubungan yang berbeda-beda dari suatu golongan terhadap golongan
lain. Pendapat ini kemudian diteliti dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan kepada golongan tertentu bagaimana sikapnya terhadap
pernyataan-pernyataan tersebut mengenai golongan-golongan yang dihadapaknnya. Borgadus
menyusun pernyataan-pernyataan yang akhirnya tinggal sebanyak 7 buah
pernyataan, yang diatur sedemikian rupa hingga mempunyai tingkatan-tingakatan
penerimaan atau penolakan terhadap pernyataan-pernyataan tersebut.
Penyataan-pernyataan tersebut adalah sebagai berikut.
1.
To close kindship to marriage
2.
To my club as personal chums
3.
To my street as neighbors
4.
To employment in my occupation
5.
To citizenship in my country
6.
As visitors only to my country
7.
Would exclude from my country

Penelitian sikap Thurstone juga
menggunakan skala. Apa yang dikemukakan oleh Thurstone mempunyai corak lain
dengan apa yang dikemukakan oleg Borgadus. Dalam skala Thurstone digunakan
pernyataan-pernyataan yang disusun sedemikian rupa hingga merupakan rentangan (range) dari yang favorable sampai yang paling unfavorable.
Pernyataan-pernyataan itu disampaikan kepada subjek dalam suatu formulir (form). Masing-masing pernyataan dalam
skala Thurstone telah mempunyai nilai skala sendiri-sendiri. Nilai skala (scale value) tersebut bergerak dari 0,0
(yang mempunyai ekstrim bawah) sampai dengan 11,0 (yang mempunyai ekstrim
atas).
Dalam perintah cara mengerjakan atau
cara menjawab subjek terhadap pernyataan-pernyataan tersebut, subjek disuruh
memberikan tanda cek (tanda yang menyatakan betul) pada pernyataan-pernyataan
yang mereka setujui. Keadaan sikap seseorang terhadap objek sikap ditunjukkan
oleh nilai rata-rata dari nilai skala yang pernyataannya disetujui atau
diterimanya.

Likert juga dikenal dengan pengukuran
sikap skala Likert, karena Likert dalam mengadakan pengukuran sikap juga
menggunakan skala. Skala Likert berbeda dengan skala Thurstone, skala Likert
dikenal sebagai summated ratings method,
sedangkan skala Thurstone dikenal sebagai judgment
method.
Dalam menciptakan alat ukur Likert juga
menggunakan pernyataan-pernyataan, dengan menggunakan lima alternatif jawabam
atau tanggapan atas pernyataan-pernyataan tersebut. Subjek yang diteliti
disuruh memilih salah satu dari lima alternatif jawaban yang disediakan. Lima
alternatif jawaban yang dikemukakan oleh Likert adalah:
-
Sangat
setuju (stongly approve)
-
Sejutu (approve)
-
Tidak
mempunyai pendapat (undecided)
-
Tidak
sejutu (disapprove)
-
Sangat
tidak setuju (strongly disapprove)
Bagaimana seseorang menagggapi sesuatu
pernyataan hanya dapat memilih salah satu dari lima kemungkinan jawaban
tersebut. Sebagai contoh dikutipkan apa yang dikemukakan oleh Likert mengenai
alat ukur tentang sikap terhadap orang Negro, yang sering disebut dengan Negro Scale yang terdiri dari 18
pertanyaan. Dalam contoh ini diambil empat buah pertanyaab dari 18 pertanyaan
tersebut, yaitu:
No Negro should be
deprived of the franchise except for reason which would also disfranchise a
white man.
Strongle approve Approve Undicided Disapprove Strongle disapprove
(5) (4) (3) (2) (1)
Negro homes should be
sergregated from those of white people.
Strongle approve Approve Undiced Disapprove Strongle disapprove
(1)
(2) (3) (4) (5)
If the same preparation
is required, the negro teacher should receive the same salary as the white.
Strongle approve Approve Undiced Disapprove Strongle disapprove
(5) (4) (3) (2) (1)
All negros belong in
one class and should be treated in about the same way.
Strongle approve Approve Undiced Disapprove Strongle disapprove
(1)
(2) (3) (4) (5)
Dalam hal ini subjek disuruh memilih
salah satu kemungkinan jawaban terhadap pernyataan yang diajukan kepadanya,
dengan memberikan tanda cek (tanda yang menyatakan betul) jawaban mana yang ia
setujui.
Contoh khas dari skala Likert adalah
bahwa makin tinggi skor yang diperoleh oleh seseorang, merupakan indikasi bahwa
orang tersebut sikapnya makin positif terhadap objek sikap, demikian
sebaliknya.
Penentuan dari pernyataan-peryataan tersebut
diambil dari banyak pernyataan yang disaring melalui uji coba yang dikenakan
pada subjek uji coba. Dari hasil uji coba dipilih pernyataan-pernyataan yang
cukup baik, baik yang bersifat favorable,
atau positif maupun yang unfavorable
atau negatif.
6.
Pengukuran sikap secara tidak langsung
Pengukuran sikap secara tidak langsung,
yaitu pengukuran sikap dengan menggunakan alat-alat tes, baik yang proyektif
maupun yang non-proyektif. Misal dengan tes Rorschach, TAT, dan dengan melalui
analisis yang cukup rumit, peneliti dapat mengetahui bagaimana sikap seseorang
terhadap keadaan sekitarnya. Pengukuran sikap secara tidak langsung ini begitu
komplek dan begitu rumit yang biasanya dibicarakan dalam rangka pembicaraan
mengenai tes.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Sarwono, Sarlito
Wirawan. Teori-Teori Psikologi Sosial.
PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2006.
Walgito, Bimo. Psikologi Sosial. C.V Andi Offset.
Yogyakarta. 2003.
http://www.edisonpatty.com/2009/.../perubahan-sikap...
fennywongso.wordpress.com/2012/06/.../teori-sikap...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar