Kamis, 16 Oktober 2014

MAKALAH tentang SIKAP (Psikologi Umum II)



SIKAP

       A.  TEORI-TEORI PERUBAHAN SIKAP
1.      Teori Rosenberg
Teori Rosenberg dikenal dengan teori affective-cognitive consistency dalam hal sikap, dan teori ini kadang-kadang juga disebut teori dua faktor. Teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan komponen kognitif dan komponen afektif yang mana hubungan antara keduanya belum di kupas oleh para ahli dan Rosenberg ingin melihat hubungan ini.
Menurut Rosenberg, pengertian kognitif tentang sikap tidak hanya mencakup tentang pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan objek sikap, melainkan juga mencakup kepercayaan atau beliefs tentang hubungan antara objek sikap itu dengan sistem nilai yang ada dalam diri individu.
Komponen afektif berhubungan dengan bagaimana perasaan yang timbul pada seseorang yang menyertai sikapnya, dapat positif tetapi dapat juga negatif terhadap objek sikap. Bila seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap objek sikap, maka ini berarti adanya hubungan pula dengan nilai-nilai yang lain yang berhubungan dengan objek sikap tersebut, demikian juga dengan sikap yang negatif. Menurut Rosenberg komponen afektif akan selalu berhubungan dengan komponen kognitif, dan hubungan tersebut dalam keadaan konsisten. Bila seseorang mempunyai sikap yang positif terhadap suatu objek, maka indeks kognitifnya juga akan tinggi, demikian sebaliknya.
Hal yang penting dalam teori ini adalah kaitannya dengan pengubahan sikap. Karena hubungan komponen afektif dengan komponen kognitif konsisten, maka bila komponen afektifnya berubah, komponen kognitifnya juga akan berubah dan sebaliknya. Pada umumnya dalam rangka pengubahan sikap, orang akan mengubah dahulu komponen kognitifnya, hingga akhirnya komponen afektifnya akan berubah. Dalam rangka pengubahan sikap Rosenberg mencoba mengubah komponen afektif terlebih dahulu. Dengan berubahnya komponen afektif akan berubah pula sikapnya.
2.      Teori Festinger
Teori disonansi kognitif (the cognitive disonance theory) dalam sikap dari Festinger ini diluncurkan sekitar tahun 1957. Festinger meneropong tentang sikap dikaitkan dengan perilaku yang nyata, yang merupakan persoalan yang banyak mengundang perdebatan. Sikap mengandung tiga macam komponen, yaitu komponen kognitif, afektif dan konatif. Dalam hal ini Festinger ingin menyelidiki tentang hubungan sikap dengan perilaku.
Festinger dalam teorinya mengemukakan bahwa sikap individu itu biasanya konsisten satu dengan yang lain, dan dalam tindakannya juga konsisten satu dengan yang lain. Elemen kognitif mencakup pengetahuan, pandangan, kepercayaan tentang lingkungan, seseorang atau tindakan. Pengertian disonansi adalah tidak cocoknya antara dua atau tiga elemen-elemen kognitif. Bila suatu elemen kognitif tidak cocok dengan elemen kognitif yang lain, hal ini akan menimbulkan disonansi. Beberapa cara untuk mengurangi atau menghilangkan disonansi, yaitu:
a.       Merubah perilaku
b.      Mengubah lingkungan
c.       Menambah elemen baru
3.      Teori Sarnoff
Teori ini adalah teori yang paling kurang memenuhi kriteria dibandingkan dengan teori-teori sikap yang lain. Hal ini disebabkan oleh teori ini kurang spesifik dalam prediksi-prediksinya. Bagaimana mekanisme hubungan motif, tension, dan sikap tidak diterangkan dengan jelas. Selanjutnya, teori ini didasarkan pada prapotensi dari motif untuk menentukan hubungan motif dan sikap. Tentu saja usaha seperti ini tidak cukup kuat. Tingkah laku overt yang menyertai sikap yang sama pada dua individu dapat terjadi dalam defense mechanisme (mekanisme pertahanan). Hubungan yang tidak jelas ini pun belum pernah di uji dalam eksperimen-eksperimen. Mungkin untuk meningkatkan kejelasan dan keterujian dari teori ini diperlukan penjelasan alternatif dari teori tentang hubungan sikap dan motif ini, yakni penjelasan teori yang tidak mempostulatkan mekanisme pertahanan sebagai dasar dari pembentukan sikap.
4.      Teori-teori Sheriff dan Hovland dan Bem
Kedua teori ini di dasarkan pada proporsi-proporsi dari dua aliran psikologi yang sudah cukup teruji, yaitu aliran Sosiologi/Antropologi dan aliran Behaviorisme/Skinnerian.
Teori Sheriff dan Hovland mencoba bergerak lebih jauh ke arah terapan dan mengajarkan beberapa istilah dan hipotesis baru, namun terdapat sedikit kelemahan dalam konsistensi internalnya karena ada beberapa proposisi yang menyangkut konstruk tentang “garis lintang, penerimaan, penolakan, dan ketidak terlibatan” yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Sedangkan teori Bem lebih cenderung untuk tetap berada pada prinsip-prinsip Skinnerian yang klasik. Teori ini memiliki peran yang cukup besar dalam mempengaruhi penganut-penganut teori disonansi untuk mempertimbangkan kembali interpretasi mereka tentang sikap. Teori Bem memiliki interpretasi yang sederhana tentang sikap (yaitu tidak mengakui proses internal dalam pembentukan sikap), tetapi justru penyederhanaan ini mampu memberi kriteria yang lebih jelas tentang masalah sikap tersebut sehingga patut dipertimbangkan oleh kaum kognitif untuk merumuskan kembali proposisi-proposisi pokok mereka.
5.      Teori Osgood dan Tannenbaum
Kekuatan teori ini terletak pada kecermatan/ketepatannya dalam mengukur besaran (magnitude) perubahan sikap dan kekuatan sikap. Walaupun demikian, masih juga terdapat sedikit masalah pada konsistensi internal dari teori ini, yaitu pada konsep tentang koreksi ketidakdapatan dipercaya (correction for incredulity) dan asersi disosiatif (dissociative assertion) yang membutuhkan pendefenisian yang lebih cermat.
6.      Teori Pembelajaran (Learning Theory)
Teori ini melihat perubahan sikap sebagai suatu proses pembelajaran. Teori ini tertarik pada ciri-ciri dan hubungan antara stimulus dan respon dalam suatu proses komunikasi. Program Yale mengidentifikasi unsur-unsur dalam proses pembujukan yang dapat memberi pengaruh terhadap perubahan sikap seseorang yang meliputi penyampaian sebagai sumber informasi baru, komunikasi atau informasi yang disampaikan, penerima dan situasi. Pembujukan telah menjadi topik pembahasan yang paling banyak dibahas dalam berbagai literatur tentang perubahan sikap.
7.      Teori Fungsional (Functional Theory)
Teori fungsional beranggapan bahwa manusia mempertahankan sikap yang sesuai dengan kepentingannya. Perubahan sikap terjadi dalam rangka mendukung suatu maksud atau tujuan yang ingin dicapai. Menurut teori ini, sikap merupakan alat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, untuk merubah sikap seseorang, terlebih dahulu harus dipelajari dan diketahui kepentingan atau tujuan  yang ingin di capai oleh seseorang.
8.      Teori Perkembangn Sosial (Social Judgement Theory)
Menurut teori ini, proses perubahan sikap bergantung kepada keteguhan individu dalam berpegang pada suatu nilai atau pandangan. Apabila individu berpegang pada pandangan yang ekstrim dalam suatu hal, maka ruang gerak penerimaannya akan sempit. Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya perubahan sikap bagi individu bersangkutan adalah kecil. Sebaliknya, individu yang tidak ekstrim berpegang pada suatu pandangan, memiliki ruang gerak penerimaan yang luas. Semakin luas ruang gerak penerimaan seseorang, semakin besar pula kemungkinan terjadi perubahan sikap pada individu yang bersangkutan.
9.      Teori Konsistensi (Consistency Theory)
Teori konsistensi dikembangkan berdasarkan suatu asumsi umum, bahwa manusia akan berusaha untuk mewujudkan keadaan yang serasi dalam dirinya. Jika terjadi keadaan yang tidak serasi, misalnya terjadi pertentangan antara sikap dan tingkah laku, maka manusia akan berusaha untuk menghilangkan realita tersebut dengan merubah salah satu sikap atau tingkah laku.
10.  Teori Persepsi Diri
Teori ini berfokus pada individu yang mengetahui akan sikapnya dengan mengambil kesimpulan dari perilakunya sendiri dan persepsinya tentang situasi. Implikasinya adalah perubahan perilaku yang dilakukan seseorang menimbulkan kesimpulan pada orang tersebut bahwa sikapnya telah berubah. Misalnya, seseorang yang awalnya tidak bisa memasak tapi ia memasak setiap ada kesempatan dan ia baru sadar kalau dirinya suka/ hobi memasak.
11.  Teori Presentasi Diri
Menurut teori ini, orang memiliki sutau kebutuhan untuk mengabsahkan aspek-aspek penting dari konsep dirinya, terutama jika konsep dirinya terancam. Teori ini secara aktif mengelola self – image atau kesan yang mereka berikan kepada orang lain.
12.  Teori Ekspektasi Nilai
Teori ekspektasi nilai melihat pada keseimbangan insentif dan memprediksikan bahwa dalam situasi di mana ada tujuan yang saling bertentangan, orang akan memilih posisi yang memaksimalkan keuntungan buat mereka. Teori ini mengasumsikan bahwa orang adalah pembuat keputusan yang penuh perhitungan, aktif, dan rasional.

B.     PENGUKURAN SIKAP
Mengukur suatu sikap bukanlah suatu pekejaan yang mudah. Seperti yang telah dipaparkan, salah satu kesulitan dalam mempelajari psikologi adalah karena objek yang dipelajari itu tidak menampak, tidak dapat langsung dilihat, tidak dapat langsung dipegang, yang dapat diamati adalah manifestasi dari kehidupan psikis, hal yang demikian dihadapi pula dalam sikap.
Orang dapat mengukur sesuatu dengan alat ukur yang telah ditetapkan standarnya, jadi telah adanya standar atau patokan tertentu mengenai alat ukur tersebut. Misal pengukuran panjang sesuatu benda dengan menggunakan alat meteran. Kalau seseorang mengukur sebuah benda – misal  – meja hasilnya satu meter, maka orang lain bila mengukur meja tersebut dengan meteran, hasilnya juga satu meter.
Dari contoh tersebut, dapat dikemukakan bahwa dalam mengukur sesuatu, orang dapat mengukur dengan alat ukur yang belum distandarisasi, tetapi juga dapat mengukur dengan alat yang telah distandarisasi. Pengukuran dengan alat ukur yang belum ditsandarisasi hasilnya akan mengalami variasi, hasil pengukuran seseorang mungkin akan berbeda dengan hasil pengukuran orang lain. Tetapi sebaliknya bila orang menggunakan alat ukur yang telah distandarisasi, hasil pengukuran yang dicapai akan sama. Karena itu dalam pengukuran sesuatu, agar menunjukkan hasil yang baik, perlu digunakan alat ukur yang telah distandarisasi. Demikian pula dalam hal mengukur sikap, untuk mendapatkan hasil yang baik perlu digunakan alat yang telah dibakukan atau telah distandarisasi.
1.      Variasi hasil pengukuran
Variasi hasil pengukuran tidak hanya ditimbulkan karena alat ukur yang digunakan, tetapi juga dapat bersumber pada faktor-faktor lain, yaitu:
a.      Keadaan objek yang diukur
Merupakan hal yang ideal bila hasil pengukuran yang diperoleh itu benar-benar mencerminkan keadaan yang sesungguhnya dari objek yang diukur. Dalam ilmu sosial – demikan pula dalam ilmu psikologi – dapat dikatakan bahwa belum terdapat alat ukur yang dapat dengan sempurna mengungkap atau mengukur secara murni hanya kepada apa yang ingin diukur semata-mata, sedangkan faktor lain tidak turut terungkap dengannya. Karena itu koefisian validitas alat-alat ukur gejala-gejala sosial (termasuk di dalamnya psikologi), hampir tidak ada yang mencapai r setinggi +1,000. Dengan validitas sebesar +1,000 ini berarti alat ukur telah mengukur faktor atau faktor-faktor yang akan diukur semata-mata (Hadi, 1971).
b.      Situasi pengukuran
Pengukuran sesuatu dalam situasi yang berbeda, juga dapat menimbulkan hasil pengukuran yang berbeda. Mengukur sebatang tembaga dengan temperatur yang berbeda, akan diperoleh hasil pengukuran yang berbeda, sekalipun benda dan alat ukurnya sama. Demikian pula mengukur sikap seseorang dalam situasi yang berbeda, dapat menghasilkan hasil pengukuran yang berbeda pula.


c.       Alat ukur yang digunakan
Variasi hasil pengukuran dapat disebabkan karena alat ukur yang digunakan. Misal bila alat ukur dibuat dari bahan yang berbeda, kemungkinan hasil pengukuran juga akan berbeda.
d.      Penyelenggaraan pengukuran
Cara penyelenggaraan pengukuran juga dapat menghasilkan hasil pengukuran berbeda. Demikian juga bila seorang pengukur kurang menguasai alat ukur yang digunakan, maka hal ini akan dapat menimbulkan hasil pengukuran yang berbeda-beda, karena kemungkina cara penyelenggaraannya berbeda-beda.
e.       Pembacaan dan atau penilaian hasil pengukuran
“Seorang pengukur yang sedang ngantuk mungkin mengalami salah baca. Seorang tester yang sudah terlalu lelah mungkin melakukan salah periksa. Seorang coder hasil-hasil angket mungkin salah letak dalam memberikan kode-kode. Semua keadaan itu akan menaikkan atau menurunkan hasil-hasil pengukuran dari keadaan yang sesungguhnya” (Hadi, 1971: 106).
Bila seorang pengukur telah mengantuk atau telah lelah, karena bekerja melampaui kemampuannya, maka hal ini akan dapat pula merupakan sumber dalam variasi hasil pengukuran.

2.      Alat ukur yang baik
Dalam soal pengukuran salah satu persoalan yang sering timbul ialah bagaimana alat ukurnya itu baik atau tidak. Kalau alat ukurnya tidak baik, dengan sendirinya hasil pengukurannya juga kurang baik, tidak sesuai dengan keadaan yang senyatanya.
Alat ukur itu disebut baik, bila alat ukur itu valid dan reliabel. Karena itu hal tersebut perlu mendapatkan perhatian untuk memperoleh alat ukur yang baik. Dalam hal validitas alat ukur mencakup kejituan dan ketelitian alat ukur yang bersangkutan. Alat ukur yang jitu itu, yaitu bila alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang akan di ukur, jadi alat ukur itu tidak mengukur hal-hal yang lain.
Suatu alat yang baik itu harus reliabel atau andal, artinya alat itu harus dapat memberikan hasil pengukuran yang tetap atau stabil. Bila suatu benda pada suatu waktu diukur menunjukkan panjang 2 meter misalnya, maka pada waktu lain bila benda itu diukur dengan alat ukur itu kembali, hasilnya juga menunjukkan 2 meter. Tetapi karena dalam psikologi yang menjadi subjek adalah makhluk hidup, yang selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, maka akan sulit untuk memperoleh hasil pengukuran yang tepat sama seratus persen. Karena itu dalam hal ini ada batas-batas tertentu di mana hasil itu dapat dianggap relatif sama (hal ini dibicarakan atau ditunjukkan dalam pengolahan statistik).

3.      Cara pengukuran sikap
Dalam pengukuran sikap ada beberapa macam cara, yang pada garis besarnya dapat dibedakan secara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung, yaitu subjek secara langsung dimintai pendapat bagaimana sikapnya terhadap sesuatu masalah atau hal yang dihadapkan kepadanya. Dalam hal ini dapat dibedakan langsung yang tidak berstuktur dan langsung yang berstruktur. Secara langsung yang tidak berstruktur misalnya mengukur sikap dengan wawancara bebas (free interview), dengan pengamatan langsung atau dengan survei (misal public opinion survey). Sedangkan cara langsung yang bersturktur, yaitu pengukuran sikap dengan menggunakan pertanyaan-pertanyyan yang telah disusun sedemikan rupa dalam suatu alat yang telah ditentukan, dan langsung diberikan kepada subjek yang diteliti. Misal pengukuran sikap dengan skala Bogardus, Thurstone, dan Likert.
Sedangkan sikap dengan secara tidak langsung ialah pengukruan sikap dengan mengguanakan tes. Dalam hal ini dapat dibedakan antara tes yang proyektif dan yang non-proyektif.

4.      Pengukuran sikap secara langsung tak bersturktur
Sebuah contoh penelitian yang dikemukakan oleh Buchanan dan Cantril dengan tema “How nations see each other” dengan public opinion surveys, sikap terhadap masalah hidup secara damai, salah satu butirnya berbunyi “Do you belief that it will be possible for all countries to live together at peach with each other”. Penelitain ini dilaksanakn di sembilan negara pada tahun 1948, dengan besarnya sampel masing-masing negara berkisar antara 945-1195, dan hasilnya menunjukkan sebagai berikut.
  Possible                     Not Possible                Don’t Know   
                                                            %                                      %                                %
Australia                                              42                                    54                                 4
Britain                                                 47                                    44                                 9
France                                                 47                                    41                               12
West Germany                                    58                                    35                                10
Italy                                                     30                                    59                               11
Mexico                                                18                                    74                                 8
Netherlands                                         46                                    49                                 5
Norway                                               43                                    52                                 5
United States                                      49                                    45                                 6
(Sherif dan Sherif, 1957:513)
Dari contoh di atas dapat dikemukakan bahwa terhadap masalah yang sama, terdapat perbedaan sikap yang diambil untuk menanggapi masalah tersebut. Masing-masing bangsa atau golongan mempunyai pandangan atau sikap yang berbeda-beda.

5.      Pengukuran sikap secara langsung yang berstruktur
*      Pengukuran sikap model Borgadus
Pengukuran sikap model Borgadus lebih dikenal dengan pengukuran sikap dengan skala Borgadus. Borgadus dalam mengukur sikap menggunakan suatu skala. Apa yang dikemukakan oleh Borgadus berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Park, yang menurutnya bahwa dalam suatu kelompok ada intensitas hubungan yang berbeda satu dengan yang lain di antara para anggotanya, demikan pula adanya perbedaan intensitas hubungan antara kelompok dengan kelompok yang lain. Pengukuran sikap model Borgadus adalah menyangkut jarak sosial, yaitu jarak sosial dari satu golongan atau kelompok terhadap golongan atau kelompok lain.
Borgadus berpendapat bahwa ada tingkatan intensitas hubungan yang berbeda-beda dari suatu golongan terhadap golongan lain. Pendapat ini kemudian diteliti dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada golongan tertentu bagaimana sikapnya terhadap pernyataan-pernyataan tersebut mengenai golongan-golongan yang dihadapaknnya. Borgadus menyusun pernyataan-pernyataan yang akhirnya tinggal sebanyak 7 buah pernyataan, yang diatur sedemikian rupa hingga mempunyai tingkatan-tingakatan penerimaan atau penolakan terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Penyataan-pernyataan tersebut adalah sebagai berikut.
1.      To close kindship to marriage
2.      To my club as personal chums
3.      To my street as neighbors
4.      To employment in my occupation
5.      To citizenship in my country
6.      As visitors only to my country
7.      Would exclude from my country
*      Pengukuran sikap model Thurstone
Penelitian sikap Thurstone juga menggunakan skala. Apa yang dikemukakan oleh Thurstone mempunyai corak lain dengan apa yang dikemukakan oleg Borgadus. Dalam skala Thurstone digunakan pernyataan-pernyataan yang disusun sedemikian rupa hingga merupakan rentangan (range) dari yang favorable sampai yang paling unfavorable. Pernyataan-pernyataan itu disampaikan kepada subjek dalam suatu formulir (form). Masing-masing pernyataan dalam skala Thurstone telah mempunyai nilai skala sendiri-sendiri. Nilai skala (scale value) tersebut bergerak dari 0,0 (yang mempunyai ekstrim bawah) sampai dengan 11,0 (yang mempunyai ekstrim atas).
Dalam perintah cara mengerjakan atau cara menjawab subjek terhadap pernyataan-pernyataan tersebut, subjek disuruh memberikan tanda cek (tanda yang menyatakan betul) pada pernyataan-pernyataan yang mereka setujui. Keadaan sikap seseorang terhadap objek sikap ditunjukkan oleh nilai rata-rata dari nilai skala yang pernyataannya disetujui atau diterimanya.
*      Pengukuran sikap model Likert
Likert juga dikenal dengan pengukuran sikap skala Likert, karena Likert dalam mengadakan pengukuran sikap juga menggunakan skala. Skala Likert berbeda dengan skala Thurstone, skala Likert dikenal sebagai summated ratings method, sedangkan skala Thurstone dikenal sebagai judgment method.
Dalam menciptakan alat ukur Likert juga menggunakan pernyataan-pernyataan, dengan menggunakan lima alternatif jawabam atau tanggapan atas pernyataan-pernyataan tersebut. Subjek yang diteliti disuruh memilih salah satu dari lima alternatif jawaban yang disediakan. Lima alternatif jawaban yang dikemukakan oleh Likert adalah:
-          Sangat setuju (stongly approve)
-          Sejutu (approve)
-          Tidak mempunyai pendapat (undecided)
-          Tidak sejutu (disapprove)
-          Sangat tidak setuju (strongly disapprove)
Bagaimana seseorang menagggapi sesuatu pernyataan hanya dapat memilih salah satu dari lima kemungkinan jawaban tersebut. Sebagai contoh dikutipkan apa yang dikemukakan oleh Likert mengenai alat ukur tentang sikap terhadap orang Negro, yang sering disebut dengan Negro Scale yang terdiri dari 18 pertanyaan. Dalam contoh ini diambil empat buah pertanyaab dari 18 pertanyaan tersebut, yaitu:
No Negro should be deprived of the franchise except for reason which would also disfranchise a white man.
Strongle approve   Approve         Undicided        Disapprove      Strongle disapprove
(5)                         (4)                   (3)                    (2)                    (1)
Negro homes should be sergregated from those of white people.
Strongle approve   Approve         Undiced           Disapprove      Strongle disapprove
(1)                         (2)                   (3)                    (4)                    (5)
If the same preparation is required, the negro teacher should receive the same salary as the white.
Strongle approve   Approve         Undiced           Disapprove      Strongle disapprove
(5)                         (4)                   (3)                    (2)                    (1)
All negros belong in one class and should be treated in about the same way.
Strongle approve   Approve         Undiced           Disapprove      Strongle disapprove
(1)                         (2)                   (3)                    (4)                    (5)

Dalam hal ini subjek disuruh memilih salah satu kemungkinan jawaban terhadap pernyataan yang diajukan kepadanya, dengan memberikan tanda cek (tanda yang menyatakan betul) jawaban mana yang ia setujui.
Contoh khas dari skala Likert adalah bahwa makin tinggi skor yang diperoleh oleh seseorang, merupakan indikasi bahwa orang tersebut sikapnya makin positif terhadap objek sikap, demikian sebaliknya.
Penentuan dari pernyataan-peryataan tersebut diambil dari banyak pernyataan yang disaring melalui uji coba yang dikenakan pada subjek uji coba. Dari hasil uji coba dipilih pernyataan-pernyataan yang cukup baik, baik yang bersifat favorable, atau positif maupun yang unfavorable atau negatif.

6.      Pengukuran sikap secara tidak langsung
Pengukuran sikap secara tidak langsung, yaitu pengukuran sikap dengan menggunakan alat-alat tes, baik yang proyektif maupun yang non-proyektif. Misal dengan tes Rorschach, TAT, dan dengan melalui analisis yang cukup rumit, peneliti dapat mengetahui bagaimana sikap seseorang terhadap keadaan sekitarnya. Pengukuran sikap secara tidak langsung ini begitu komplek dan begitu rumit yang biasanya dibicarakan dalam rangka pembicaraan mengenai tes.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Sarwono, Sarlito Wirawan. Teori-Teori Psikologi Sosial. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2006.
Walgito, Bimo. Psikologi Sosial. C.V Andi Offset. Yogyakarta. 2003.
http://www.edisonpatty.com/2009/.../perubahan-sikap...
fennywongso.wordpress.com/2012/06/.../teori-sikap...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar